Kembali pada hasil penelitian “Etnomatematika: Eksplorasi Candi Borobudur”, kita dapat menjumpai pembacaan yang serupa terutama ketika mengulas puncak stupa Borobudur yang kosong tanpa arca Budha, sebagai bagian dari Arupadhatu (alam atas), alam para dewa atau tingkatan tertinggi yang melambangkan kekosongan, kedamaian dan ketentraman, alam spiritual tanpa hawa nafsu dan keinginan (Larisa, 2011 di dalam Muhtadi, Sukirwan, & Utami, 2020, h.16). Berada di dalam ruang arsir tematik antara matematika dan tari dengan nuansa pembahasan spiritualitas sangat kental, godaan esensialisme kerap terjadi di dalam praktik penciptaan tari. Namun, hal tersebut ternyata tidak terjadi pada proses penciptaan tiga koreografer Tubuh Mandala.
Retno Sulistyorini melalui karya Selapanan mendialogkan gagasan tentang fase kehidupan manusia yang dimanifestasikan di dalam relief dan arsitektur Borobudur dengan pengalaman kulturalnya sebagai perempuan Jawa masa kini. Selapanan sendiri adalah ritual dari masyarakat Jawa yang dilakukan ketika bayi menginjak usia 35 hari. Selapanan sebagai teks budaya dimaknai Retno sebagai bagian dari penandaan awal usia sosial individu di dalam ranah budaya Jawa. Pada umumnya, individu digiring oleh pranata sosial-kultural untuk menapaki fase hidup selanjutnya. Penanda usia sosial tradisional ini kemudian harus berhadapan dengan perkembangan zaman, dimana kenyataan hidup terkadang mensituasikan individu untuk bernegosiasi dengan tradisinya untuk dapat meramu sendiri fase kehidupan yang paling memungkinkan bagi dirinya. Bagi Retno, apapun bentuk fase kehidupan yang diramu, dipilih, dan dijalani, pada kenyataannya kehidupan terus berputar layaknya lingkar kehidupan. Pembacaan tersebut Retno tuangkan melalui karya Selapanan dalam format video yang dikerjakan dengan cara one take scene, dimana kamera turut dikoreografi untuk merekam getar dan gerak dua penari simultan tanpa jeda. Teknik editing video karya ini pun sangat minim, tanpa memotong dan menyusun ulang adegan, tetapi hanya untuk mengambil durasi tertentu dari gerak dua penari (laki-laki dan perempuan) yang berlangsung sebelum dan setelah durasi yang disajikan. Dengan cara itu, Retno hendak menghadirkan fragmen koreografi tanpa awal dan akhir. Teknik coloring minimalis dilakukan untuk menyamarkan sudut bagian atas ruang sehingga bentuk geometri ruang yang tampak di layar menjadi lebih cair. Dengan demikian bentuk-bentuk geometri yang menghadirkan asosiasi mandala hanya digoreskan oleh gerak dan getar kedua penari.
Fitri Setyaningsih, melalui karya Watu Gamping (Bilangan tak Terhingga) mengeksplorasi sebuah tobong (pabrik) batu gamping yang sudah tidak lagi beroperasi di Klaten, Jawa Tengah untuk meregang asosiasi atas materialitas bebatuan sekaligus tubuh-tubuh yang bekerja di dalam koreografi pembangunan arsitektur Borobudur kala itu. Di dalam karya ini, Tobong batu gamping beserta isinya (baik tubuh pekerja, mesin, material batu gamping, suara-suara) tidak diperlakukan semata sebagai setting atau properti, melainkan inti dari gagasan koreografi itu sendiri. Fitri menulis di dalam catatan prosesnya bahwa tubuh, batu gamping, dan lokasi bekerja secara langsung. Ia melihat hubungan antara gunung, batu dan tubuh penambang seolah terjalin di dalam peristiwa mekanik mesin pengeruk benda-benda berat. Baginya hubungan tersebut adalah sebuah gema mekanik yang berulang dan menyebar yang tak akan pernah selesai. Meskipun Fitri dapat melihat bahwa “yang mekanik” terhubung dengan “yang kosmik”, ia menandai bahwa bagaimana tubuh – dalam hal ini tubuh para penambang batu gamping – bekerja sedemikian rupa mewujudkan kesempurnaan (pencerahan), di sana juga terdapat dilema komodifikasi baik atas material alam maupun tubuh pekerja itu sendiri. Dengan kata lain, melalui koreografi Watu Gamping (Bilangan tak Terhingga), Fitri hendak mengingatkan pada kita bahwa dibalik keberadaan artefak budaya yang kita pandang agung, di sana ada peristiwa transaksional yang melibatkan tubuh dan kadang mensituasikan tubuh dalam relasi kuasa yang timpang. Karya ini, menawarkan perenungan mendalam bagi kita untuk meninjau ulang pusaran putaran keberlangsungan hidup.
Otniel Tasman, dengan karyanya “0-Excelsior” (Part 1), mencari bilangan 0 (nol) sebagai metafora “kosong” di dalam laku spiritual di tengah riuh kehidupan masyarakat kontemporer hari ini. Pencarian tersebut ia lakukan dengan menjelajahi tiga lokasi di kota Solo. Lokasi pertama adalah hotel yang ia pilih sebagaimana fungsi pada umumnya sebagai ruang yang dihuni sementara dan atau ruang transit. Hotel ia pilih lantaran sifat ambivalen antara publik dan privat. Lokasi ke dua adalah pasar tradisional yang memiliki penataan interior dan fasilitas publik modern. Pasar di sini ditempatkan sebagai ruang transaksi, dimana tarik ulur negosiasi berlangsung setiap hari. Sementara lokasi ketiga adalah bangunan yang ia pilih bukan karena fungsi atau sejarahnya, melainkan karena kualitas artistik interior yang ia anggap memiliki warna dan tekstur yang dapat membaur dengan tubuh. Cara Otniel menginvestigasi tiga ruang sehari-hari tersebut adalah dengan menghadirkan aksi koreografis dari dua tubuh penari yang secara wantah dapat dikatakan saling tarik ulur objek yang ujungnya mereka gigit. Otniel memang sengaja mengintervensi ruang sehari-hari tersebut dengan aksi korografisnya yang terkesan tak lazim dan sensual untuk menyibak permukaan kehidupan kota dan mencari lokus spiritual 0 (nol) atau “kosong” di habitus dan ruang hidupnya. Apakah ia menemukannya? Ataukah justru mata kepenontonan kita melihat sekilas 0 (nol) atau “kosong” ada di salah satu adegan karya ini? Barangkali itu ada di lorong hotel, eskalator, gang pasar, di balik pintu lift, rongga peti mati atau justru di tubuh-tubuh yang hadir di dalam bingkai layar karya ini?
Alih-alih menuturkan kembali hasil tatapan terhadap Borobudur dengan alegori tradisional yang memisahkan atau bahkan mensterilkan ruang suci lokus vital yang menjadi akses menuju transendental” dari hal-hal duniawi atau profan (Northrup, 1997 di dalam Plate, 2005, h. 56), karya-karya koreografer Tubuh Mandala justru “mentransposisi yang sakral” di dalam suatu lintasan antara “yang sakral” dan “yang profan” (Plate, 2005, h.77). Dengan kata lain, meminjam nalar Benjamin (di dalam Plate, 2005, h.78-81), tiga koreografer Tubuh Mandala melarutkan mitologi – dalam hal ini mitologi Borobudur baik yang mereka maknai dari pengalaman pribadi maupun apropriasi pendekatan etnomatematika- ke dalam ruang sejarah, lebih jauh lagi eksterior dan interior ruang sehari-hari. Koreografi ketiga koreografer Tubuh Mandala bekerja melalui mode alegoris non tradisional yang dibaca oleh Benjamin (di dalam Plate, 2005, h.78-81) modalitas vital bagi estetika religi. Estetika ini tidak berorientasi pada logosentrisme Keindahan, Kebenaran, atau Tuhan, tetapi tetap berada di tengah-tengah, materi dasar yang membumi. Itu ditemukan di celah-celah dimana seni bertemu dengan kehidupan (Plate, 2005, h.80-81).
Daftar Pustaka:
Plate, S. Brent (2005), Walter Benjamin, Religion, and Aesthetics: Rethinking Religion through the Art, New York: Routledge.
Utami, Rahmi Nur Fitria, dkk. (2020), Etnomatematika: Eksplorasi Candi Borobudur, Jurnal Penelitian Pendidikan dan Pengajaran Matematika, vol. 6 no. 1, 31 Maret 2020. (2020)