Pemberian penghargaan bagi tokoh-tokoh tari yang telah memberikan kontribusi besar kepada dunia tari Indonesia. Tokoh-tokoh yang diberi penghargaan adalah individu atau kelompok, baik yang sudah tiada maupun yang masih hidup.
Marzuki Hasan & Nurdin Daud:
Separuh Abad Pukau Dunia dengan Tari Aceh
Oleh: TItah AW & Linda Mayasari
Dari semua jenis tari tradisional Indonesia, ada satu tarian yang tak pernah gagal membuat penonton menahan nafas tegang dan konsentrasi mengikuti irama gerakannya yang rancak, kompak, dan intens. Bertenaga, sekaligus luwes. Tarian itu adalah tari duduk Aceh, atau tari Saman.

Foto Pak Nurdin mengajar tari di Amerika
(Dok. Arsip: Zuraida Nurdin; istri Pak Nurdin)

Foto Pak Marzuki & Pak Nurdin dan kontingen tari Indonesia di American Dance Festival
(Dok. Arsip: Zuraida Nurdin; istri Pak Nurdin)
Dan jika anda pernah menyaksikan tarian ini di berbagai gelaran kecil hingga nasional atau internasional, atau bahkan pernah berlatih menarikannya meski anda bukan orang Aceh, maka itu adalah salah satu hasil kerja keras Marzuki Hasan dan Nurdin Daud.
Selama lebih dari 50 tahun terakhir, dua maestro kelahiran Aceh inilah yang berperan membawa dan mempopulerkan tari Aceh ke seluruh Indonesia bahkan mancanegara. Tak sekedar mempopulerkan, Marzuki Hasan dan Nurdin Daud jugalah yang membuat banyak pembaharuan dalam struktur maupun tradisi tari Aceh hingga bisa diminati oleh publik luas, terutama anak-anak muda.
“Sewaktu kecil, saya dan anak laki-laki di gampong biasa tinggal di meunasah (kegiatan pembelajaran religi yang berpusat di surau), di situlah kami dulu biasa belajar berbalas syair dan pantun,” cerita Uki –sapaan akrab Marzuki Hasan yang kini telah berusia 81 tahun. Sebagai keturunan asli Aceh, syair, pantun, dan tari-tarian sudah seperti nafas yang mereka hirup saban hari. Dari kecil hingga dewasa, baik Marzuki maupun Nurdin mengasah kemampuan mereka di Meunasah, maupun kompetisi-kompetisi lain. “Mengarang lirik syair atau pantun itu spontan saja, sudah bakat alam dan terbiasa. Mengalir saja,” lanjut Marzuki.
Laku mereka mengenalkan tari Aceh dimulai tahun 1970-an, ketika keduanya bertemu di Taman Ismail Marzuki (TIM) yang saat itu baru dua tahun berdiri. Saat itu Marzuki Hasan baru menyelesaikan studi di Yogyakarta dan memutuskan menggeluti dunia kesenian, sementara Nurdin Daud baru sampai di Jakarta. Saat itu, popularitas tari Aceh kalah jauh dibanding tari lain dari Jawa atau Bali. Namun, mereka akhirnya mendapat ruang yang tepat saat akhirnya dipertemukan sebagai pengajar tari Seudati di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), yang kelak kita kenal sebagai Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pelan namun pasti, konsistensi dan kecintaan mereka menggarap tari Aceh mulai terasa hasilnya.
Di Aceh, tari beserta syair dan pantun dirayakan, namun banyak dibatasi oleh norma dan hukum syariat yang berlaku di sana. Ketika akhirnya berkembang di Jakarta, Marzuki dan Nurdin melakukan banyak eksplorasi dan pembaharuan dalam struktur, gerak, kolaborasi, hingga dramaturgi pertunjukan. Misalnya mereka menampilkan kombinasi penari laki-laki dan perempuan dalam satu panggung pertunjukan tari Saman, hal yang tabu dan tak pernah dilakukan di Aceh. “Digabung ya, bukan dicampur baur. Sempat ramai itu, tapi akhir-akhir ini sejak hukum syariat Aceh berlaku, sudah tidak bisa lagi, ya kita mengikuti adat,” ceritanya Marzuki.

Foto Pak Marzuki & Pak Nurdin saat diundang pertunjukan di Australia
(Dok. Arsip: Zuraida Nurdin; istri Pak Nurdin)

Koreografi Pak Marzuki di Galeri Indonesia Kaya
(Dok. Arsip: Djoko)
Tahun 1978 di sela jam mengajar, mereka menciptakan Tari Rampa saat masih aktif di kelompok Cakra Donya. Tarian yang aslinya berdurasi 75 menit inilah yang saat ini kita kenal dengan Tari Rampai Aceh. Marzuki Hasan dan Nurdin Daud secara konsisten mengembangkan gerakan tari Saman, Ratoh, Seudati, Laweut, dan tari Aceh lain. Proses kreatif biasanya dibagi berdasar keahlian, Marzuki yang lebih ahli bersyair dan pantun membuat iringan sementara Nurdin yang merancang gerak dan struktur tarinya.
Orang-orang mulai memahami keindahan tradisi tari yang banyak terpengaruh unsur Melayu ini. “Karakter Tari Aceh itu sangat berbeda, intinya bukan di wiraga-wirasa-wirama seperti Tari Jawa atau Bali, tapi di kekompakan, kekuatan, kedisiplinan, dan keberanian,” tutur Marzuki. Ia melanjutkan, “Yang dominan kan dua itu, gerak dan vokal. Di Tari Aceh, apapun bisa jadi musik, music body, music vocal, bahkan lantai pun bisa jadi alat musik”.
Menurutnya, meski terikat aturan adat Aceh, banyak celah yang bisa dieksplorasi. Di syair misalnya, Marzuki banyak sekali menggubah lirik-lirik baru, bahkan secara spontan. Tak hanya doa, lirik dalam syair-syair Aceh juga bisa diisi oleh kisah, ajaran kebijaksanaan,pendidikan, tuntunan religi, hingga kritik sosial. “Saya pernah berdiri memimpin demo, berorasi tapi dengan cara bersyair dan pantun. Itu berkesan sekali, betapa kuat dan luwesnya tradisi ini,”
Hasil eksplorasi membuat tari Aceh gaya baru ini lalu mereka bawa ke gelaran American Dance Festival 1984. Tak hanya membuat penonton terkesima, penampilan ini membuka pintu bagi tari Aceh ke berbagai festival dan panggung di dunia. Sejak itu, mereka berdua tenggelam dalam kesibukan mengajar, mencipta tari, dan berkeliling ke berbagai belahan dunia, mulai dari Amerika, Afrika, Australia, Eropa, dan seluruh Asia. Mereka juga rutin tampil di istana negara, juga acara-acara seperti Ganefo, Sea Games, PON, dan lainnya. “Tahun 1980-1990an itu saya hampir nggak pernah istirahat. Keliling dunia terus. Tapi saya bangga sekali bisa bawa tari Aceh sampai kemana-mana,” ujarnya terkekeh.
Tak hanya di kancah seni profesional, tari Aceh juga berkembang sebagai salah satu ekstrakulikuler populer di SMP-SMA se-jabodetabek. Menurut Marzuki, hal ini diawali oleh program kesenian IKJ yang menggelar pertunjukan keliling ke sekolah-sekolah tahun 1990an lalu. Sejak itu, tari Aceh digandrungi, bahkan diadakan festival tari Aceh setiap minggu. Populernya tari Aceh di Jakarta ini lalu semakin banyak memunculkan kebaruan di gerakan, kostum, syair, pantun, dan tradisinya. Marzuki dan Nurdin pun bisa melihat bahwa kegigihan mereka dahulu kini berbuah gelombang kreativitas yang besar perihal tari Aceh.

Brosur ke Riyadh (3)
(Dok. Arsip: Zuraida Nurdin; istri Pak Nurdin)

Brosur ke Riyadh (2)
(Dok. Arsip: Zuraida Nurdin; istri Pak Nurdin)

Foto Pak Nurdin sebelum vakum dari dunia tari
karena mulai sakit
(Dok. Arsip Zuraida Nurdin; istri Pak Nurdin)

Pak Marzuki dalam salah satu aksinya memimpin tari Aceh
(Dok. Arsip Djoko)
Sayangnya, kegiatan mereka berkurang setelah Nurdin Daud mulai sakit sejak tahun 1990-an hingga akhirnya meninggal tahun 2007 lalu. Meski begitu, misi pelestarian tari Aceh tetap diteruskan Marzuki Hasan dan generasi baru penari Aceh lainnya.
Penghargaan lifetime achievement award IDF 2022 ini diberikan kepada mereka berdua atas hidup yang telah mereka dedikasikan untuk melestarikan dan tak henti-hentinya melakukan pembaharuan pada tari Aceh, juga membuka jalan yang mempertemukan tari Aceh dengan publik dari latar pengalaman budaya yang beragam.
Berkat Marzuki Hasan dan Nurdin Daud, tradisi tari Aceh yang dulu mereka akrabi di surau-surau dekat rumah kini terdengar dan diapresiasi oleh publik dunia. Praktik keduanya terhadap tari tradisi Aceh menjadi sumber inspirasi bagi seniman tari Aceh generasi berikutnya untuk mengelaborasi/menawarkan tafsir baru atas ragam kesenian tradisinya, dan seniman tari di Indonesia pada umumnya untuk menatap tradisi dan kebudayaan dengan cara yang lebih terbuka dan dialogis.
Ketika banyak seniman tradisi terjebak pada kekakuan atau kesakralan pakem-pakem yang menjadikan banyak seni tradisi justru tertinggal, Marzuki Hasan dan Nurdin Daud justru berani melakukan pendekatan kritis dan kreatif yang membuat seni tradisi khususnya tari Aceh tetap kontekstual mengikuti zaman dan karenanya, dihidupi dan dirayakan oleh banyak orang.