*Untuk pengalaman yang menyeluruh dalam mengakses peta LAYAR TERKEMBANG, silahkan menggunakan perangkat desktop/tablet.
Layar Terkembang
Sekali Layar Terkembang,
Surut Kita Berpantang!
Sebuah seruan pembakar semangat berkata demikian: “Sekali layar terkembang, surut kita berpantang!” . Seruan tersebut melatari pembentukan Layar Terkembang, sebuah program yang lahir dari keterbatasan di masa pandemi global.
Pada 2020, IDF telah merencanakan pengadaan festival bienialnya. Namun, rencana tersebut mesti dimodifikasi akibat pandemi global. Menolak menyerah pada keadaan, IDF untuk pertama kalinya mengadakan festival daring dalam tema IDF.2020.zip – DAYA: CARI CARA. Program Layar Terkembang menjadi salah satu agenda utama, melibatkan 20 koreografer tari dari berbagai negara di dunia untuk menuangkan refleksi masa pandemi mereka dalam format film tari berdurasi singkat. Kreasi mereka kemudian menjadi medium untuk membuka dialog mengenai isu-isu lokal yang dibahas dalam setiap karya.
Layar Terkembang menjadi ekspresi solidaritas yang menularkan semangat melalui medium virtual. Eksperimen ini membuka mata tim festival bahwa rasa bisa dihantarkan lewat layar, menembus batasan waktu dan geografis. Layar dalam konteks ini juga melambangkan alat yang mengajak kita untuk menjelajahi berbagai kemungkinan baru dalam tari dan praktik sosio-kultural.
Seri Layar Terkembang :
Layar Terkembang 2021
Seri Tubuh Virtual
Pengalihan presentasi seni ke ruang digital secara besar-besaran di skena seni kontemporer Indonesia dalam rentang masa pandemi COVID-19 menebalkan identifikasi kita terhadap perbedaan antara ruang fisik di IRL (In Real Life) dan ruang virtual di online live, dan pengalaman tubuh fisik dan tubuh virtual. Namun, bukankah sesungguhnya kita, orang-orang yang memiliki akses dan pengetahuan untuk menggunakan internet, telah mengalami hal tersebut baik di dalam kerangka kesenian maupun kehidupan sehari-hari bahkan sebelum pandemi Covid-19.
Pembacaan Kuratorial
oleh
Linda Mayasari
Kurator
Pengalihan presentasi seni ke ruang digital secara besar-besaran di skena seni kontemporer Indonesia dalam rentang masa pandemi COVID-19 menebalkan identifikasi kita terhadap perbedaan antara ruang fisik di IRL (In Real Life) dan ruang virtual di online live, dan pengalaman tubuh fisik dan tubuh virtual. Namun, bukankah sesungguhnya kita, orang-orang yang memiliki akses dan pengetahuan untuk menggunakan internet, telah mengalami hal tersebut baik di dalam kerangka kesenian maupun kehidupan sehari-hari bahkan sebelum pandemi Covid-19.
Mungkin kita pernah melihat seseorang nekat berjoget di ruang publik untuk membuat konten Tiktok. Menggunakan nalar panggung untuk membaca fenomena tersebut, ruang publik yang dibayangkan oleh pembuat konten bukanlah tempat/lokasi di mana ia merekam joged TikTok-nya. Ruang publik tempat berjoget beralih posisi menjadi latar panggung, sementara ruang publik yang ia tuju adalah panggung TikTok. Di sanalah ia bertemu dengan penonton sekaligus komunitasnya yang tak lain adalah warga TikTok. Fenomena TikTok semacam itu menunjukkan secara praktikal bagaimana koreografi tubuh virtual memiliki implikasi pada koreografi tubuh fisik. Sementara penggunaan emoticon menunjukkan fenomena yang sebaliknya. Bentuk-bentuk ekspresi virtual yang sama sekali bisa terpisah dari ekspresi fisikal muncul dari aktivitas penggunaannya. Kita barangkali kerap merespon sesuatu yang lucu di dalam percakapan group Whatsapp dengan emoticon tertawa, sementara tidak ada tawa “yang sebenarnya” di wajah fisik kita. Meninjau ulang bagaimana kita mengelola foto untuk kepentingan media sosial, beberapa tahun silam untuk mengedit foto diri, seseorang membutuhkan kemampuan editing dasar. Namun, saat ini tersebar berbagai aplikasi yang mudah digunakan untuk mengedit dan memanipulasi foto.
Smith dan Watson (2014, p. 71) mendudukan penggunaan istilah diri (self) sebagai penanda pronominal refleksivitas, istilah singkat untuk merujuk pada tindakan referensi diri. Diri (self) di dalam konteks ini tidak bisa ditautkan dengan konsep humanis liberal tentang diri sebagai aktor yang rasional, otonom, mengetahui diri sendiri, dan koheren, seperti yang diwariskan oleh pemikiran zaman Pencerahan. Diri (self) bukan sebagai esensi tetapi sebagai subjek, target bergerak, yang untuk sementara menggabungkan memori, identitas, pengalaman, rasionalitas, perwujudan, pengaruh, dan agensi terbatas. Selanjutnya keduanya menjelaskan bahwa presentasi diri online selayaknya dalam narasi kehidupan offline, referensi “aku” dikonstruksi dan disituasikan, dan tidak identik dengan daging dan darah orang yang merepresentasikan diri secara online. “Aku” dibentuk melalui formasi diskursif, yang heterogen, konfliktual, dan interaksional, mengalokasikan posisi subjek kepada mereka yang diinterpolasi melalui bingkai ideologis, kiasan, dan bahasa. Baik offline maupun online, subjek otobiografi dapat didekati sebagai ansambel atau kumpulan posisi subjek di mana pemahaman diri dan penentuan posisi diri dinegosiasikan.
Layar Terkembang 2021, seri Tubuh Virtual disusun untuk menelusuri beragam gagasan yang menandai wilayah arsir antara pengalaman offline atau IRL (In Real Live) dan online dalam kaitannya dengan tubuh, identitas, medium, dan mediasi melalui perspektif koreografi. Layar Terkembang seri Tubuh Virtual melibatkan koreografer yang diasumsikan lekat dengan media sosial dan aktif merepresentasikan diri secara virtual. Dengan demikian, pengalaman media akan dikritisi dan dimaknai kembali melalui proses penciptaan koreografi.
“I-ruang” karya Abib Igal menawarkan pembacaan kritis terhadap pengalaman media dan mediasi yang hadir dari internet dan praktik spiritualitas. Karya ini beresonansi dengan pembacaan Brigit Meyer (2009) bahwa media dan agama telah lama ditempatkan di ranah imajinasi dan virtualitas yang membentuk formasi nyata dalam kehidupan sosial. Meyer (2009, h.2) menandai perbedaan yang menentukan imajinasi komunitas di jaman pra modern dan modern melalui fokus pergeseran status bahasa. Ia memaparkan bahwa di masa lalu bahasa suci Latin, Arab, Yunani, dan Cina adalah “media yang melaluinya komunitas global besar di masa lalu terbentuk”. Apa yang dikatakan dalam bahasa sakral ini “adalah pancaran realitas, bukan representasi yang dibuat-buat secara acak”. Imajinasi komunitas modern, sebaliknya, dibentuk atas dasar pemahaman modern tentang bahasa yang bertumpu pada gagasan kesewenang-wenangan, tanda yang dikaitkan dengan perkembangan teknologi media cetak dan dilanjutkan teknologi digital. Melalui “I-ruang”, Abib menawarkan untuk melihat realita di dalam konteks masyarakat kita bahwa media dan agama, dan teknologi dan transcendental, sebagai milik dua alam yang berbeda secara ontologis ini sejatinya kita hayati melalui praktik sehari-hari. Abib kemudian menandai di dalam ritual sebagai bagian dari praktik spiritualitas “yang tak terlihat” (yang sakral) menjadi “ada” (kehadiran tanpa wujud), sementara di dalam internet “yang ada” sebenarnya hanyalah ilusi algoritma (ketidakhadiran yang berwujud).
Maharani Pane melalui “Paradox : The Nebulous (part 1)” mempertanyakan bagaimana kita menandai “realitas” di dalam kelindan pengalaman terhadap ruang fisik, virtual, dan mimpi. Ia pun menyoal situasi kesadaran dan ketaksadaran tubuh ketika berada di dalam ketiga ruang tersebut. Bagi pane, tubuh di dalam kesadaran ibarat wadah penerima segala rasa yang tercipta dari setiap peristiwa. Alih-alih memposisikan kesadaran sebagai kekuatan untuk mengontrol dan mengantisipasi segala hal yang datang ke dalam pengalaman, Pane justru menunjukkan bahwa kesadaran tak luput dari tipu muslihat karena bahasa yang menopang bekeradaan “kesadaran” justru menutupi ancaman dan meredam rasa sakit jauh ke dalam diri. Melalui kacamata psikoanalisa kita akan melihat bahwa segala hal yang ditutupi dan diredam oleh “bahasa kesadaran”, sesungguhnya tak pernah benar-benar hilang lantaran tersimpan di dalam ketaksadaran dan sesekali muncul ke permukaan, terkadang lewat mimpi. Munculnya kesadaran dan ketidaksadaran tersebut seolah telah membelah subjek yang hidup di dalam IRL (In Real Life) menjadi dua ruang topografi yang terpisah.
Persoalan bertambah pelik dengan hadirnya internet yang menambahkan pengalaman ruang virtual. Mengurai teks Freud sebagai teori avant la lettre tentang bagaimana kita berhubungan dengan internet, Burnham (2018) menawarkan untuk tidak hanya melihat fungsinya sebagai mesin tulis kita tetapi juga fungsinya sebagai memori. Burnham membaca bagaimana konsepsi ketaksadaran (unconscious) Freud sebagai “ide-ide yang muncul di kepala kita, kita tidak tahu dari mana, dan dengan kesimpulan intelektual sampai pada kita tidak tahu bagaimana” (SE XIV, 166– 167), layaknya ketika kita melihat inbox email dan halaman Facebook. Internet di dalam pembacaan Burnham (2018) serupa dengan topografi ketaksadaran yang diilustrasikan oleh Freud sebagai sebuah ruang yang bukan fisik atau anatomis, di mana lokal RAM dan bentuk lain memori komputer dan server berada di ruang yang bukan geografis. Berarsiran dengan gagasan tersebut, maka tak heran bila Pane merasa ketaksadaran tubuh subjek di dalam ruang virtual mirip dengan ruang mimpi.
“in-” karya Minori Sumiyoshiyama, bagian dari “2×2 WindowS” (sebuah kolaborasi internasional online dalam pandemi 2020 oleh Minori Sumiyoshiyama dan Tam Thi Pham, seorang komposer multimedia dan musisi dari Vietnam), menyajikan pembacaan tentang bagaimana tubuh dibentuk, diawetkan, dan difragmentasi oleh internet. Ia bercerita bahwa di masa lalu ada orang yang berpikir bahwa memotret akan menyedot jiwa mereka. Bila sebagian orang menganggap itu takhayul, ia justru melihat bahwa teknologi memberikan kita kemudahan untuk mengambil foto dan film yang membuat jiwa, tubuh, identitas kita terfragmentasi. Ketika kita mengunggah fragmen-fragmen diri kita tersebut ke sosial media di dalam bingkaian tampilan dan identitas tertentu, saat itu pula kita tengah membentuk diri virtual kita (Smith dan Watson, 2014). Terkait dengan tindakan untuk mewujudkan representasi diri online, Smith dan Watson (2014, h. 73-74) membahas kemungkinan pengejawantahan (embodiment) konfigurasi diri sebagai avatar, di mana tubuh selalu didematerialisasikan dalam representasi virtual. Pengalaman Minori ketika ia menerima pesan dari akun sosial media seseorang yang telah meninggal, menunjukkan bagaimana internet juga bekerja mengawetkan diri virtual kita. Entah apapun atau siapapun yang menulis pesan atas nama akun orang yang telah meninggal tersebut, diri virtual dengan segala memori algoritmanya seolah seperti jiwa yang gentayangan di Internet clouds yang sesekali mampir ke layar gawai digital kita.
Buboy Raquitico menggarap karya “Welcome” melalui moda penciptaan yang ia bingkai ke dalam proyek ‘Choreographing in the Cloud’. ‘Choreographing in the Cloud’ yang telah ia mulai sejak 2020 merupakan siasatnya sebagai seniman untuk beradaptasi dengan keterbatasan yang ditimbulkan oleh COVID-19. Karaoke sebagai fenomena hiburan komunal menjadi titik berangkat untuk mencermati pengalaman subtil individu dalam melakukan perluasan ruang fisik ke virtual ketika menjalani karantina. Selain itu, potensialitas karaoke sebagai aksi sekaligus ruang tampil bagi siapa saja, juga ia eksplorasi untuk menjajaki peralihan ruang kerja penciptaan dari studio fisik ke studio virtual. Melalui cara kerja itu Buboy sebagai sutradara harus meninjau dan mengarahkan aksi koreografer/penari yang melakukan eksplorasi karaoke dari tempat yang terpisah hanya berdasar pada apa yang ia lihat di layar gawai. Ia pun menyadari benar bahwa penyutradaraannya tidak lagi bekerja pada konteks dan materialitas tubuh fisik melainkan pada tubuh virtual. ‘Choreographing in the Cloud: Welcome’ diluncurkan sebagai parodi ‘auto-videografis’ yang menantang mata kritis kita untuk meninjau diri atau tubuh yang hadir secara virtual meskipun menimbulkan rasa keintiman atas detail karaoke di ruang sehari-hari yang natural namun tetap saja sebenarnya adalah rekaan.
Karya “MAYARI” yang diciptakan Pythos Harris melengkapi pembacaan munculnya tubuh virtual di luar moda kerja internet yang telah diajukan oleh empat koreografer di atas. Bila tubuh virtual ditandai Abib juga hadir di dalam praktik spiritual, Pane melihatnya di dalam struktur mimpi, Buboy bahkan telah melakukan simulasi penciptaan tubuh virtual melalui koreografi virtual, Phytos mengingatkan kita pada pembentukan tubuh virtual di dalam politik identitas. Melalui “MAYARI”, Phytos menggoyah gambar tubuh Papua eksotis-orientalis yang selama ini bercokol di dalam layar pikir kita. Di dalam karya ini tidak ada atribut stereotypical tertentu yang membuat kita gampang menandai identitas Papua, kecuali tubuh dan ruang yang ada di sana. Bila kita menonton “MAYARI” kemudian berpikir “tidak ada Papua di sana”, maka di dalam momen itulah sebenarnya “MAYARI” tengah bekerja layaknya distorsi untuk mengganggu tampilan gambar Papua yang selama ini mapan di dalam layar pikir kita. Phytos dengan “MAYARI” bekerja layaknya hacker yang tengah meretas sistem dominan yang membentuk kemapanan tubuh Papua virtual dan membuka realitas yang mungkin tak pernah kita saksikan baik di dalam layar pikir maupun layar gawai digital kita.
Daftar Pustaka:
Meyer, Brigit (ed). (2009). Aesthetic Formation: Media, Religion, and the Senses. New York: Palgrave Macmillan.
Smith, Sundonie & Watson, Julia.(2014). Virtually Me: A Toolbox about Online Self-Presentation. Di dalam A. Poletti & J. Rak (Ed), Identity Technologies: Constructing the Self Online (h.70-95). Madison: The University of Wisconsin Press.
Burnham, C. (2018). Does the Internet Have an Unconscious?: Slavoj Žižek and Digital Culture. New York: Bloomsbury Academic.
- 22 Desember 2021 | 19:00 - 21:00
Dermaga Bincang Tari adalah platform dialog koreografi kritis dengan format simposium virtual. Program ini ditujukan menjadi ruang pertukaran gagasan bagi praktisi seni tari dan peneliti lintas disiplin dari dalam dan luar negeri, yang memiliki praktik terkait wacana tubuh dalam konteks dinamika masyarakat kontemporer hari ini. Topik diskusi kali ini membedah proses artistik yang dilakukan kelima koreografer dalam kaitannya dengan tema kuratorial, Tubuh Virtual.