Penulis :
Institut Seni Indonesia (ISI), Solo
Deskripsi
Karya tari “Li Tu Tu” pertama kali dirancang pada tahun 2017. Ayu Permata Sari sebagai koreografer, terinspirasi dari tari “Kuadai” asal suku Semendo. Suku Semendo, adalah salah satu suku yang berasal dari Sumatra Selatan, namun suku ini juga dapat ditemukan di Lampung Utara.
Tari “Kuadai” ditarikan oleh wanita. Dilihat dari bentuk tariannya, tari “Kuadai” tidak hanya bisa ditarikan oleh satu penari saja, namun juga bisa ditarikan oleh dua orang atau lebih. Tari “Kuadai” menggunakan properti piring, Sejumlah 12 (dua belas) piring ukuran piring makan dibentangkan di bawah, sedangkan dua piring yang ukurannya lebih kecil dimainkan oleh kedua tangan penari.
Selain terinspirasi dari tari “Kuadai”, karya ini terinspirasi oleh Tunggu Tubang, sebuah sebutan untuk anak wanita pertama dalam sebuah keluarga suku Semendo yang umumnya memiliki karakter kuat, mandiri, bertanggung jawab terhadap semua saudara kandung. Selain itu dalam suku Semendo, anak wanita pertama menjadi tempat pulang untuk semua keluarga kandung, dan memiliki tugas mengelola harta keluarga.
Karya “Li Tu Tu” kali ini ditarikan oleh tiga orang, yaitu; Ghalib Muhammad, Nurachma Dinda, dan Ayu Permata Sari sendiri. Karya ini juga tidak memiliki sinopsis, namun hanya memiliki kata kunci untuk penonton; yaitu keseimbangan, kepercayaan dan komunikasi.
Analisis
Karya “Li Tu Tu” terinspirasi dari tari “Kuadai”, dapat dilihat dari properti yang digunakan, yaitu piring yang diletakkan di lantai, serta dua piring yang dimainkan oleh penari. “Li Tu Tu” mengambil beberapa motif gerak tari “Kuadai”, yaitu motif gerak melempar piring dan motif gerak menggunakan ibu jari sebagai tumpuannya.
Dalam karya ini, penari terlihat rapi menggunakan pakaian formal. Seorang penari berdiri di atas meja, berdiri pada tumpukan piring yang ditata di empat sudut meja dan tumpukan piring yang lebih banyak di tengah-tengah meja. Penari ini memegang piring dan lilin dengan ibu jari sebagai tumpuannya. Sedangkan dua penari lainnya saling melemparkan piring sambil berpindah-pindah tempat. Tak jarang, piring yang dilemparkan jatuh dan pecah.
Karya ini menggunakan metode pengulangan dalam gerak dengan berbagai tempo dan level. Ruang yang digunakan cukup menarik, dengan menyusun batu bata sedemikian rupa. Tarian ini menghasilkan musik yang merupakan suara alami dari sepatu penari yang menginjak pecahan-pecahan kaca.
Interpretasi
Dalam karya ini, karakter Tunggu Tubang sangat terasa yaitu kuat, mandiri dan bertanggungjawab. Karakter ini dijadikan motivasi penari dalam bergerak. Konsentrasi penari sangat menyita perhatian penonton, lemparan-lemparan piring pun juga membuat penonton merasa tegang saat melihat pertunjukan Li Tu Tu.
Pertunjukan ini memiliki tiga kunci utama, yaitu keseimbangan, kepercayaan dan komunikasi yang dikemas sangat baik. Pola lintasan dua penari yang saling melemparkan piring sangat bervariasi dan berani. Momen saat piring jatuh dan pecah memberi kesan tersendiri yang kuat, memecah konsentrasi penonton namun juga meningkatkan ketegangan penonton.
Pertunjukan ini dilakukan di ruang terbuka. Ruang yang digunakan cukup menarik, dengan menyusun batu bata menjadi sedemikian rupa serta terlihat indah.
Evaluasi
Secara keseluruhan, pertunjukan “Li Tu Tu” sangat menarik. Pertunjukan sederhana ini dengan durasi 30 menit ini berhasil menyita perhatian penonton dari awal hingga akhir, walaupun menggunakan metode gerak pengulangan. Keseimbangan, kepercayaan dan komunikasi yang menjadi kunci utama dalam pertunjukan ini dapat tersampaikan dengan baik.