Penulis :

Monika Handayani
Program Studi Seni Tari
Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Indonesia kaya akan budaya dan kesenian, begitu subur, makmur kaya akan hasil alam yang berlimpah ruah. Tak hanya subur tanahnya, tetapi subur pula pertunjukan keseniannya. Acara Indonesian Dance Festival tahun 2020 ini diadakan secara virtual dengan konsep “DAYA: Cari Cara”. Dengan konsep tersebut diharapkan para seniman menciptakan kembali bahasa-bahasa koreografi di masa new normal ini. Kata normal diartikan sebuah pertanyaan bahwa setiap hari baru ada gerakan yang baru, dan tak hanya itu, seniman dapat menciptakan berbagai lapisan kemungkinan untuk terus berdaya. Menurut saya berdaya di sini dalam konteks setiap orang harus bisa berproses walaupun dalam masa pandemi, dan jangan pernah patah semangat dalam hal apapun. Seperti halnya para seniman atau orang yang berkecimpung di dunia seni. Walaupun memang dalam masa pandemi harus berkarya, harus bisa terus berlatih, dan progres harus jalan dengan semestinya. Berdaya juga soal niat dalam hati, ibarat saja daya baterai yang hampir habis atau hampir penuh. Ya, antara semangat dan niat berjalan lurus dan seimbang.

Dalam IDF 2020 ada banyak yang ingin berbagi ilmu. Pada tanggal 4 November 2020 di youtube live streaming dan dalam frame ada banyak tokoh atau seseorang yang patut kita teladani pengalaman hidup atau penelitiannya. Diana Butler, lulusan Universitas Udayana Bali, direktur Program Amerika, menjelaskan kesinambungan antara gotong royong dan kesenian yang ia ibaratkan sebagai pohon bonsai di depan rumahnya. Beliau mengatakan bahwa pohon bonsai jika dipotong semua daunnya, akan tampak batangnya saja. Setelah beberapa minggu baru muncul daun yang akan tumbuh sedikit demi sedikit. Bahkan beliau menjelaskan tentang pohon bonsai bila tidak tumbuh daun sama sekali untuk beberapa minggu atau bulan, bisa saja mati atau membusuk. Lantas beliau menyimpulkan sesuatu atau orang yang ingin berproses tidak perlu tergesa-gesa. Betul sekali beliau bisa mengibaratkan seperti itu, apakah ini juga berkaitan dengan kreasi yang akan tumbuh dan berkembang. Akar yang tumbuh tersebut jika kuat dan kekar maka tetap dalam pendirian walau badai menerjang. Berbeda juga dengan pohon bonsai yang tumbuh dengan akar yang tidak kuat/lemah maka ia cepat saja mati, atau bahkan pohon bonsai tersebut tumbuh dengan perlahan agar akarnya kekar, daun-daun akan mulai bermunculan, dan akhirnya tumbuh dengan lebatnya.

Bisa diibaratkan seseorang yang sudah bersikukuh dengan pendiriannya maka orang tersebut akan teguh pendirian, sebaliknya jika seseorang tidak teguh pendiriannya maka orang tersebut tidak akan mencapai sesuatu hal yang diinginkan. Sesuatu tersebut harus melalui proses yang begitu panjang agar kita bisa mencapainya secara maksimal. Berkaitan dengan gotong royong menurut saya, antara akar, batang, dan daun pohon bonsai, harus bisa bersinergi dengan semestinya agar mencapai tujuan tumbuh dan berkembang dengan simbol daun yang semakin tumbuh lebat, sedangkan kesenian dimaknai sebagai kebutuhan yang sangat penting untuk tubuh. Supaya mereka bisa merasakan tubuh, jiwa, dan fisik lebih dekat antara dunia, manusia, alam, dan ketuhanan.

Selanjutnya dalam video Saras Dewi, beliau membawakan materi “Tari sebagai Pengetahuan” yang merupakan hasil penelitiannya pada tahun 2013-2014. Objek penelitiannya tari Sang Hyang, tari kuno di Bali. Adapun aspek yang diteliti lebih ke aspek kerasukan, pembabakan, dan tahapan-tahapan tari juga ekspresif/pakem/pola gerak tertentu. Kemanjuran tarian ritual ini dirasakan rakyat Bali dengan perasaan bebas dari penyakit. Ritualnya bisa disebut juga dengan bersih desa atau bumi membalik (sebutan di Karangasem). Asal muasal tarian ini muncul pada masa pra-Hindu di masa kepercayaan animisme. Tarian ini memakai tutur kata dan tidak ada gending, nyanyiannya lebih lengkap menggambarkan fenomena alam linguistik. Baik tari kuno maupun modern memang harus dilestarikan. Dengan semakin seringnya berlatih tari akan semakin peka atau banyak memahami tubuh pada setiap gerakan tubuh kita sendiri. Selain itu, tarian ini juga termasuk tarian yang sakral, di setiap tempat, makhluk kasat maupun tak kasat mata harus saling menghormati.

Dalam IDF ini juga disajikan pertunjukan secara virtual dan live youtube pementasan Irfan Setiawan pada Selasa, 10 November 2020 yang membentangkan perjalanan berkaryanya, yang memiliki benang merah dengan identitas. Bagaimana ia ditarik untuk “pulang” di satu sisi, namun juga sekaligus merefleksikan identitas barunya yang dipengaruhi oleh proses bertahun-tahun merantau di Jakarta. Dua kutub antara kampung halaman dan perantauan tersebut tarik menarik dituangkan dalam karyanya.

Dalam pertunjukannya ia sangat ingin melestarikan budaya-budaya di tempat asalnya (Bangka Belitung). Ia sangat berinisiatif untuk dapat mengembangkan gerakan-gerakan yang ada dalam videonya tersebut. Ia membuat tarian yang memvisualkan seorang bayi yang ditimang dengan lagu dangdut, tarian yang menggambarkan penambang kapur, dan juga gerakan menginjak-injak lada. Pertunjukan tersebut membuat saya lebih mengerti akan kebudayaan atau sesuatu yang telah terjadi di kota tersebut. Koreografinya sangatlah keren, apalagi video tari saat menginjak-injak lada, dan itu sangat keren, sehingga para penonton juga ikut masuk dalam cerita tersebut. Selain itu, menambah wawasan untuk motif gerak tarinya, dan saya percaya bahwa setiap gerakan kaki, tangan, ataupun kepala mempunyai arti yang sangat dalam.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa setiap orang yang mempunyai semangat dan niat untuk bergerak dalam mengolah dirinya akan dapat tercapai tujuannya. Contoh kecilnya, jika seseorang dapat memahami tubuh diri sendiri maka dapat meningkatkan kepekaan diri sendiri. Ibarat pohon bonsai yang tumbuh daun kecil-kecilnya, berproses akan selalu tumbuh dan berkembang perlahan. Juga, jangan pernah lupa dengan kebudayaan yang membuat hidup bersanding dan bersinergi dengan kesenian.