Penulis :

Yulistia Yarno Putri
Program Studi Seni Tari
Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta

Apa saya pernah mendengar seseorang mengatakan hal buruk tentang yang lainnya?

Atau justru saya yang menghakimi hal buruk tentang yang lainnya?


Rasanya tidak mungkin manusia dapat hidup tanpa bersosialisasi dengan manusia lainnya. Sebagai makhluk sosial, wajib hukumnya untuk saling bertemu satu sama lain, entah bertatap muka atau hanya lewat
update status di sosial media. Terdengar manis memang, namun ironisnya sosial juga yang merebut hidup sekian persen manusia. Tidak banyak yang menyadari, sebagian berhasil bodo amat’, sisanya mungkin sudah bosan ‘bodo amat’.

Barangkali Eyi Lesar adalah satu dari sekian yang berhasil ‘bodo amat’. Benar-benar memukau, melalui “Who Are You?” penonton diajak berinteraksi dengan cara berbeda. Sebagai bagian dari Kampana Performance yang dipentaskan pada tanggal 9 November 2020 secara virtual dalam acara Indonesian Dance Festival 2020, karya ini menjadi jauh lebih menarik karena menggunakan format video 360°. Hal tersebut membuktikan bahwa sebuah karya yang biasanya ditampilkan secara langsung tetap bisa dinikmati meski hanya dalam layar smartphone.

Sejak awal karya berlangsung, rasa penasaran dan prediksi-prediksi hadir tanpa diminta. Berlatar tempat ruang studio yang telah disulap sedemikian rupa, semakin membawa kita pada pernyataan dan pertanyaan yang menuntut jawab segera. Sebenarnya, kegelisahan apa yang berusaha disampaikan karya ini?.

Adegan dimulai dengan empat penari yang dibungkus plastik seolah tergeletak di lantai, sedangkan satu penari memegang sebuah lentera. Saat si penari lentera mulai berjalan mengelilingi stage, empat penari yang masih terbungkus tadi mulai bergerak, menghadirkan banyak persepsi makna apa yang ingin dihadirkan pada adegan ini. Bisa jadi mereka diibaratkan bayi dalam kandungan dan akan segera lahir atau mungkin saja mereka adalah kegelisahan dalam diri yang ingin segera dibebaskan.

Empat penari tadi terus bergerak dan berusaha melepaskan plastik, suara mereka terdengar seperti rintihan dan terus bergerak hingga mereka berhasil lepas dari plastik yang membungkusnya. Saat empat penari selesai melepaskan plastik-plastik tadi dan mulai asyik dengan helai pakaian masing-masing, satu penari dengan lentera tadi duduk menghadap kedua buah cermin besar yang menampilkan pantulan empat penari lainnya. Sebuah refleksi kehidupan yang nyata, apalagi ketika keempatnya mulai membagi fokus penonton ke dalam beberapa plot, seolah menyindir keadaan sosial saat ini yang cenderung sibuk pada duniawi dan diri sendiri.

Semakin jauh karya ini, semakin resah dan sakit terasa jelas ditunjukkan oleh para penari meski gerak yang digunakan tidak terlalu banyak, malah hampir tidak bergerak. Benar-benar membuka mata betapa sakitnya keadaan sosial kita saat ini, betapa gelapnya kita menilai orang lain yang tidak kita kenal, padahal bisa saja orang tersebut dengan perjuangannya tidak punya pilihan lain. Karya ini secara gamblang tapi juga tersirat menggambarkan hal-hal yang selalu dipandang buruk oleh norma yang berlaku, menimbulkan penghakiman dari berbagai pihak yang lupa menengok pantulannya pada cermin.

Adegan dalam karya ini mulai berganti ketika satu penari pembawa lentera mulai bangkit berdiri dan empat penari lainnya bergerak dengan ruang gerak yang lebih luas. Kemudian, empat penari tersebut berkumpul menuju tengah panggung mendekati penari pembawa lentera dan berteriak, lampu dipadamkan dan cahaya hanya berasal dari lampu kecil di tangan tiga penari. Ditemani temaram lampu yang berkelip, empat penari tersebut mulai mengucapkan beberapa kalimat dengan lirih, “janganlah kamu menghakimi…”, “karena ukuran yang kamu pakai… akan diukurkan kepadamu”, “penghakiman”, “sebab penghakiman yang tidak berbelas kasihan akan berbalas kepada orang-orang yang tidak berbelas kasih”.

Kalimat demi kalimat diucapkan berulang dan terus-menerus oleh empat penari sambil menoleh ke kanan dan ke kiri seolah sedang memberi pesan kepada satu sama lain agar tidak mudah menghakimi sesamanya. Sedangkan satu penari pembawa lentera mulai menunjuk satu persatu keempat penari tadi dengan perlahan, memberi isyarat bahwa ‘Ia’ adalah hakim sesungguhnya, dapat kita pahami bahwa hakim sesungguhnya yang dimaksud dalam karya ini adalah representasi Tuhan.

Satu penari tersebut kemudian merentangkan kedua tangannya, kembali menunjuk dan kembali merentangkan tangannya, lalu mulai berputar. Empat penari lainnya mulai mengelilingi panggung dan mengucapkan rangkaian kalimat yang sama, berulang namun semakin keras, tidak lagi lirih berbisik, memberi kesan bahwa harusnya kita berani menegur mereka yang sering kali menghakimi orang lain, menorehkan luka tanpa sadar, menjadikan diri mereka yang paling benar untuk menilai yang lainnya. Seolah-olah mereka adalah tuhan yang kemudian mengambil alih hidup orang lain dengan dalih norma dan atas nama sosial. Miris.

Keresahan ini yang barangkali mengganggu Eyi Lesar, sehingga ia sampaikan lewat “Who Are You?”, sebuah karya yang tidak hanya menarik untuk ditonton tetapi juga asyik ‘menyentil’ mulut dan tangan-tangan nakal yang sibuk mengurusi orang lain. Barangkali juga karya ini adalah sebuah perjalan panjang yang mewakili orang-orang menemukan pembenaran atas diri, menemukan Tuhan sebagai tempat berpaling, meyakini Tuhan sebagai satu-satunya hakim atas perbuatan yang dilakukan.

Sekali lagi, “Who Are You?” selayaknya ditanyakan pada pantulan diri di cermin, siapa dirimu? Lagi. Siapa dirimu? Apa layak menjadi hakim atas hidup manusia lain? Atau dapatkah menyelamatkan manusia lain dari kejamnya penghakiman sosial?. Sebuah introspeksi.