Penulis :
Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung
Latar Belakang
Indonesian Dance Festival (IDF) merupakan festival tari kontemporer berskala internasional yang dilaksanakan secara rutin pada dua tahun sekali dan juga konsisten digelar sejak tahun 1992. Indonesian Dance Festival sudah hampir lebih dari dua dekade. Dari tahun ke tahun, salah satu komitmen yang tak pernah absen dalam tiap penyelenggaraan IDF adalah menyediakan ruang yang layak bagi seniman tari muda untuk tampil, belajar, dan bereksperimen, baik melalui pentas, workshop, maupun kesempatan untuk berinteraksi dengan penggiat tari lain dari berbagai belahan dunia.
Indonesian Dance Festival pertama kali dibayangkan oleh para pendirinya, Sal Murgiyanto, Maria Darmaningsih, Nungki Kusumastuti, Ina M Suryadewi, Tom Ibnur, Deddy Lutan, serta melibatkan Sardono W. Kusumo, Julianti Parani dan Farida Oetoyo, sebagai agenda pengganti Pekan Penata Tari Muda, sebuah ajang dari Dewan Kesenian Jakarta yang sukses melahirkan banyak koreografer muda selama rentang 1978-1985. Namun, baru satu tahun kemudian Indonesian Dance Festival pertama bisa terwujud, tepatnya pada 19-22 Februari 1992. Indonesian Dance Festival yang pada mulanya berada di bawah naungan Institut Kesenian Jakarta sampai 2018, saat ini telah berdiri sebagai sebuah yayasan yang mandiri.
Tahun 2020 ini Indonesia sedang dilanda wabah yang membuat semua sektor menjadi rugi. Begitupun dengan dunia tari kontemporer pada khususnya, karena sedang menghadapi krisis karena adanya pandemi COVID-19. Teknologi komunikasi digital memungkinkan seniman terus berkarya di tengah pandemi. Ruang-ruang baru dengan bingkai terbatas dan jarak fisik menggerakkan para pencipta tari kontemporer mencari strategi baru dalam berkreasi. Di satu sisi, teknologi digital memberikan kemungkinan bahasa baru untuk mengartikulasikan gagasan, tubuh, dan koreografi. Namun di sisi lain, pengalaman keintiman fisik serta kesinambungan ruang-waktu antara pertunjukan dan penonton hilang atau digantikan oleh getaran-getaran lain. Cara penonton mengakses, mengalami, mengapresiasi, dan memandang tari jelas tidak sama dengan saat tari dihadirkan langsung di atas panggung. Tubuh pertunjukan semakin “termediasi” dan pengalaman (menonton) tari menjadi ambigu dalam proses digitalisasi.
Tahun ini IDF diselenggarakan mulai tanggal 7-14 november 2020 secara daring. Merubah konsep secara daring tapi tidak mengurangi nilai dari acara IDF. Digitalisasi membuat tidak ada border untuk siapapun untuk ikut bergerak tari kontemporer. Tema yang diusung pada tahun ini adalah Daya: Cari Cara. Mengadopsi ciri khas file.zip, rangkaian acara IDF tahun ini disajikan dalam bentuk yang lebih lantang, tetapi menawarkan penjelajahan yang lebih hidup melalui tari kontemporer Indonesia dan beberapa sajian internasional untuk dinikmati, direfleksikan, dan didiskusikan bersama. ‘Daya’ dalam bahasa Indonesia adalah kata berlapis yang digunakan dalam konteks yang berbeda. Hal tersebut mengekspresikan kekuatan hidup, dorongan primordial, transformasi, potensi atau pemberdayaan. Sedangkan “Cari Cara” mengacu pada modal bertahan hidup, menemukan cara untuk tetap hidup pada masa-masa sulit seperti pandemi yang saat ini kita hadapi.
IDF 2020 menghadirkan tiga program utama yaitu performance, kampana, dan zip.conversation. IDF diselenggarakan oleh Yayasan Loka Tari Nusantara yang didukung oleh Kementrian Kebudayaan, Wonderful Indonesia, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Djarum foundation, dan berbagai pihak lainnya yang terlibat dalam acara IDF tahun 2020 ini. Program Kampana menghadirkan enam koreografer muda Indonesia yang telah mengikuti serangkaian lokakarya dan diskusi virtual yang intens selama tujuh bulan. Di dalam program Mengintip Kampana 2020, masing-masing koreografer muda ini akan berbagi tentang proyek pertunjukan, penjabaran visi dan konsep, serta cerita proses kreatif mereka. Program Pertunjukan Kampana menghadirkan tiga ‘karya dalam proses’ dari tiga koreografer muda, di mana masing-masing menawarkan pengalaman tari yang sangat pribadi di dalam dan melalui teknologi digital: Irfan Setiawan dengan karyanya Re-reading Impact, Puri Senja dengan “The Other Half”, dan Eyi Lesar dengan “Virtual WAY (WhoAreYou)”.
Setelah melakukan refleksi atas tari, pandemi, dan keberadaan manusia melalui dua zip.conversations Resilience as part of Our Blueprint dan Presence: Where are we now?, IDF2020.zip akan ditutup dengan penampilan “Li Tu Tu” oleh Ayu Permata Sari. Karya ini merefleksikan kegigihan di tengah jarak fisik, mempertanyakan cara kita berinteraksi dan menjalin hubungan. Bersama DAYA: Cari Cara, IDF bersama senimannya menciptakan kembali bahasa-bahasa koreografi di era “Normal Baru”. “Normal” adalah pertanyaan, dengan setiap hari baru dan dengan setiap gerakan baru.
Tentang Koreografer
Salah satu koreografer muda yang berkontribusi dalam IDF 2020 adalah Irfan Setiawan. Irfan merupakan salah satu dari enam seniman Kampana 2020. Kampana adalah sebuah program pemberdayaan seniman tari muda. Dalam Kampana trajectory keenam seniman kampana akan mempresentasikan gagasannya, membentangkan konsep pertunjukan dan menceritakan proses kreatif. Irfan merupakan alumni jurusan seni tari Institut Kesenian Jakarta. Pemuda yang berasal dari Kecamatan Belinyu Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini, selalu membuat karya yang kembali bersoal dengan identitas. Daerah asal Irfan memiliki banyak sejarah, salah satunya tambang timah. Sejarah tambang timah memiliki kisah yg panjang dan berliku. Selain penghasil timah terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok, juga sejarah pertemuan berbagai budaya dan suku bangsa. Artefak perlengkapan tambang yang mengisyaratkan kehadirannya di Bangka bahkan sejak abad ke 5, akan mudah di temukan catatan sejarah dan artefak itu di Museum Timah Indonesia Bangka. Irfan mengatakan bahawa itu merupakan sebuah peradaban yg melahirkan benturan dan pertanyaan.
Dua hal tersebut menjadi pacuan pertanyaan Irfan dalam setiap pembuatan karyanya. Tegangan dengan unsur paradoksal melahirkan estetika paradoks. Estetika paradoks yang dimaksud adalah ketika menciptakan karya tari, selalu membutuhkan “Pulang”. Kembali ke akar budaya dan lingkungan alam dengan mengenali mitos-mitos dan filsafat yang tumbuh di kampung halamannya. Seperti karya yang dibuat Irfan pada tahun 2015-2016 yang berjudul “Encang Encot”. Ide awalnya terinspirasi dari kamar kost nya di Kali Pasir belakang kampusnya. Ketika melihat seorang ibu menidurkan bayinya sambil memperdengarkan musik dangdut mix koplo dengan lirik kurang pantas untuk anak-anak, sementara ibuya kembali dengan urusan domestik. Muncul pertanyaan dalam benak Irfan. Apakah inilah lullaby, musik pengantar tidur di Jakarta? Pikiran dan hatinya langsung pulang ke kampung halamannya di Bangka. Kenyamanan ayunan dari kain panjang dan musik di mix membuat kesedihan tersendiri. Benturan antara dangdut mix dan lagu penghantar tidur dari kampung halamannya menjadi pertanyaan yang terus memburunya. Kemudian dijadikan sebuah garapan karya tari.
Pada tahun 2016, Irfan menciptakan karya tari yang berjudul “Bala, Restoration of Behavior’”. Kemudian tahun 2018 mendapatkan kesempatan meraih hibah dari Djarum Foundation di platform ruang kreatif. “Bala” berangkat dari falsafah lokal burung kedidi. Burung kecil lincah yang bergerak di ranting. “Bala” atau bencana atau musibah masih dipercaya oleh masyarakat pesisir sebagai bentuk karma karena tidak menjalankan upacara kesucian air laut “Taber Laot” yang terdiri dari rangkaian ritual dan mantra juga tari “Kedidi”. Upacara tersebut berlangsung pada bulan tertentu sesuai musim dan penanggalan yang disepakati bersama. Yang menjadi pertanyaan Irfan ialah kenapa aktifitas tambang terus berlangsung sementara upacara yang diikuti sedang merapalkan mantra. “Bala” merupakan dialog antara “Bala” itu sendiri dengan realitas yang berlangsung dimana-mana. Burung kedidi kehilangan ranting yang digantikan dengan pipa yang menjulang. Menurut Irfan, hal paradok selalu terjadi dan mungkin akan selalu terjadi. Karya itu menggambarkan karya paradoksal dengan menghadirkan bunyi-bunyi penambang timah dan burung kedidi yang kehilangan ranting pohon.
Pada tahun 2017, Irfan Setiawan pertama kali membuat berkarya bukan untuk tugas studinya. Akan terapi untuk platform penciptaan karya tari koreografer muda dari komunitas tari kesenian Jakarta lewat Jakarta Dance Meet Up. Karya Irfan yang satu ini terinspirasi dari ayah nya yang berpindah pekerjaan dari petani lada menjadi penambang timah. Irfan memberi judul karya ini “Melo Sang”. Kemudian ada tahun 2018, Irfan kembali membuat karya yang berjudul “Sun Ali”. Karya tersebut merupakan karya pertamanya yang menggunakan musik luar kampung halamannya. Dalam karya ini merupakan Refleksi terhadap nilai patriarki yang membuat benturan sekaligus pertanyaan apakah harus mengoreksi sikap atau negosiasi. Tarik ulur kebudayaan yg menjadi inspirasi karyanya.
Benturan itu hadir bersama pandemi Covid-19. Corona memperlihatkan rapuhnya semua segmen kehidupan. Berlangsung lama entah sampai kapan. Berada dalam krisis itu bersama seluruh orang di dunia ini. Namun Irfan mengatakan bahwa Naun Jawaharlal Nehru berkata “krisis paling tidak memaksa kita berfikir”. Seluruh gedung kesenian, panggung indoor dan outdoor tertutup karena wabah Corona. Akan tetapi kreatifitas tak bisa dihentikan. Irfan mulai meneliti diri sendiri, memulai mendengarkan tubuh sendiri, dan melakukan autokritik. Untuk IDF ini, Irfan membaca kembali tugas akhir nya dengan judul “Impact”.
Karya tersebut di awal bersikap sangat fisikal dengan motivasi yang didominasi objek hingga kehilangan subjek yang tidak lain adalah diri sendiri. Pada IDF 2020 ini, Irfan Setiawan menampilkan perjalanannya sebagai penari yang pada umumnya selalu kembali pada persoalan identitas. Di satu sisi, ia selalu merasa tertarik untuk “Pulang”, namun di saat yang sama ia terus merefleksikan jati dirinya yang baru dipengaruhi oleh tahun-tahun merantau di Jakarta. Dua kutub antara kampung halaman dan luar negeri itu saling tarik menarik dalam karyanya. Pertanyaan tentang identitas juga dapat ditemukan pada “Re-reading Impact”. Karya yang ia buat disajikan dengan platform daring. Irfan membenamkan konsep dan terjadinya tarik menarik antara individu dengan budayanya, fisik dengan konstruksi sosial, politik, ruang dan eksistensinya. Dalam karya “Re-reading Impact” ini, Irfan membuat konsep pertunjukan dengan menggunakan sebuah frame dengan meletakan kamera 360 sebagai kolaborator yang memperkuat artistik tarian. Kamera menjadi subjek dan menjadi bagian klausal dari karyanya. Serta tubuh dan narator setara dengan penari. Benturan itu menjadi benturan yang lain di mata penonton daring.
Karya yang Irfan buat ini merupakan karya yang menarik dalam dunia tari kontemporer. Karena selama ini penonton hanya bisa menyaksikan sebuah pertunjukan tari saja. Akan tetapi, karya “Re-reading Impact” ini membawa penonton daring untuk ikut dalam karyanya. Penataan pentas yang unik dan menarik. Karena dalam menyaksikan karya “Re-reading Impact” ini, penonton harus menggerakkan handphone untuk bisa melihat pertunjukannya. Mencari spot dimana penari berada. Di menit terakhir pertunjukan pun, penonton akan ikut merasakan dinamika yang ada dalam tarian. Karena pada saat itu tempo tarian menjadi cepat dan penari berpindah tempat secara cepat. Sehingga penonton harus ikut menggerakkan handphone secara cepat pula.