Penulis :
Program Studi Seni Tari
Universitas Negeri Jakarta
!!! Gambar di body text belum dipasang !!!
https://indonesiandancefestival.id/karya-tari-li-tu-tu-oleh-ayu-permata-sari-indonesia-dance-festival-2020/
Pergelaran Indonesia Dance Festival 2020 yang diadakan secara daring melalui tayangan streaming Youtube pada tanggal 7 November sampai 14 November 2020. Pada tahun ini IDF menampilkan empat karya tari dari seniman dalam program Performance dan enam karya tari dari seniman muda dalam program Kampana Project. Dalam program Performance saya tertarik pada salah satu karya koreografer Ayu Permata Sari dengan judul “Li Tu Tu”. Karya tari “Li Tu Tu” dipilih sebagai penampilan untuk menutup perhelatan IDF 2020 sehingga menjadikan karya tari tersebut menjadi spesial.
Karya tari yang digarap oleh Ayu Permata Sari ini sudah diciptakan pada tahun 2018. Karya tari ini sebelumnya juga pernah ditampilkan di beberapa kota dengan berbagai adaptasi guna menampilkan karya yang lebih baik. Kurator IDF 2020 menetapkan karya “Li Tu Tu” untuk ditampilkan dalam acara tersebut, Ayu juga kembali mengadaptasi karya tari yang merupakan karya tari kontemporer untuk dapat dinikmati dan dipahami oleh khalayak.
“Li Tu Tu” adalah sebuah karya tari yang terinspirasi dari Tari Kuadai yang menggunakan properti piring. Tari Kuadai merupakan tari tradisi yang berasal dari suku Semendo, Lampung Utara. Penggunaan piring dalam Tari Kuadai membutuhkan konsentrasi dalam keseimbangan, maka dari itu ada dua teknik yang ada dalam Tari Kuadai yang diadaptasi oleh Ayu ke dalam karya tari “Li Tu Tu”. Diantara tekniknya yaitu melemparkan piring dan teknik menumpu piring dengan ibu jari. Teknik tersebut digunakan pada karya tari “Li Tu Tu” dengan pengulangan gerak yang sama.
Menurut artikel mediaindonesia.com, karya tari “Li Tu Tu” dimaksudkan untuk menyampaikan pesan tentang keseimbangan pada masyarakat Semendo. Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan dalam keluarga yang diemban oleh seorang anak perempuan pertama, sebagai penjaga dan pengendali harta keluarga serta penjaga rumah tempat pulang seluruh anggota keluarga. Hal ini disebut sebagai Tunggu Tubang. Fenomena sosial Tunggu Tubang ini dikolaborasikan dengan pijakan Tari Kuadai oleh Ayu Permata Sari menjadi bentuk karya tari kontemporer. Keseimbangan yang dibahas dalam karya tari ini terjadi pada suku Semendo secara menatap, berhadapan dan terus berjalan melingkar dalam tradisi suku Semendo. Melalui tradisi tersebut lahir judul karya “Li Tu Tu” yang merupakan kependekan dari Lingkaran Tunggu Tubang.
Penampilan karya tari “Li Tu Tu” ditarikan oleh 3 (tiga) orang penari, satu orang penari laki-laki dan dua orang penari perempuan. Tata busana yang digunakan sangat sederhana, hanya menggunakan terusan rok hitam tanpa lengan untuk perempuan dan kemeja putih serta celana panjang hitam oleh penari laki-laki. Desain gerak yang digunakan hanya gerak saling melempar piring antara sepasang penari perempuan dan penari laki-laki. Sedangkan penari perempuan lainnya berada di atas tumpukan bata dengan beberapa piring yang disusun untuk dipijak, satu tangannya menumpu piring dan lilin yang menyala dengan ibu jari dan tangan yang lain menopang sebuah rebana. Penari tersebut terus berjalan diatas piring yang disusun melingkar tanpa menjatuhkan sebuah piring di ibu jarinya dan sebuah rebana.
Adapun kedua penari yang berhadapan dan menatap saling melempar piring terus melakukan gerakan yang sama berulang-ulang, sesekali ada jeda dan pengelolaan tempo gerak lambat dan cepat serta gerak berputar. Ada saat penari yang saling melempar piring kemudian membiarkan piring jatuh daan pecah. Kemudian melanjutkan gerak saling melempar piring lagi dengan piring yang baru. Sepasang penari pelempar piring berjalan tetap saling berhadapan dan menatap melewati dinding lingkaran. Seiring dengan bertambahnya tempo gerak, kedua penari yang berhadapan terus membiarkan piring jatuh dan pecah sampai keduanya terus bergerak melempar tanpa piring. Karya tari “Li Tu Tu” diakhiri dengan bunyi denting rebana dan piring yang disatukan oleh seorang penari diatas tumpukan piring.
Dalam durasi 24 menit, Ayu menampilkan karya tari ini di depan sebuah bangunan berupa teras beraspal dengan dinding lengkung putih yang terbuat dari bata kapur. Adapun satu buah tumpukan beberapa bata yang disusun setinggi pinggang orang dewasa untuk tempat berpijaknya salah satu penari. Karya tari ini tidak menggunakan instrumen musik tari, melainkan hanya terdengar suara dentingan piring yang saling dilemparkan, suara piring pecah dan nafas dari para penari. Dapat disimpulkan bahwa karya tari ini mengungkapkan sebuah keseimbangan dalam fenomena sosial sebuah masyarakat tradisi yang dipercayai. Meskipun tidak mengandung banyak desain gerak yang variatif, karya tari ini dapat mempresentasikan apa yang dimaksud koreografer kepada audiens dengan penghayatan pada pengelolaan konsep karya tari.