Penulis :
Universitas Parahyangan
Indonesian Dance Festival (IDF) merupakan salah satu instrumen tari mapan di Indonesia, yang bertujuan ikut mendorong tumbuh kembangnya karya-karya terbaik serta memiliki gagasan cemerlang untuk para koreografer maupun penari lintas generasi, baik di dalam maupun di luar negeri. Festival IDF dari tahun ke tahun tidak pernah absen dalam menyediakan ruang yang layak bagi seniman tari muda untuk tampil, belajar, dan bereksperimen. Baik melalui pentas, workshop, ataupun kesempatan lainnya dalam melakukan interaksi dengan berbagai individu pada setiap belahan dunia. Dalam berbagai kesempatan IDF juga melakukan berbagai program edukatif mengenai fungsi partisipatoris tari dengan melibatkan keikutsertaan masyarakat luas, serta berupaya menjadikan sebuah tari sebagai bahasa yang lebih universal dalam kehidupan yang lebih modern ini.
Di tahun 2020 ini dengan pandemi yang sedang dialami pada seluruh belahan bumi, menyebabkan dampak yang sangat berarti untuk berbagai kegiatan. Salah satunya dalam pentas seni tari atau IDF itu sendiri, sehingga pada tahun 2020 kegiatan ini mengubah namanya menjadi IDF2020.zip dengan mengusung tema Daya: Cari Cara. Maksud dari hal tersebut adalah mengadopsi ciri khas file .zip, sehingga rangkaian acara IDF tahun ini akan disajikan dalam bentuk yang lebih lantam, tetapi menawarkan penjelajahan yang lebih hidup melalui tari kontemporer Indonesia dan beberapa sajian internasional untuk dinikmati, direfleksikan, dan didiskusikan bersama. Sedangkan tema Daya: Cari Cara memiliki arti, ‘Daya’ dalam bahasa Indonesia adalah kata berlapis yang digunakan dalam konteks yang berbeda. Ini mengekspresikan kekuatan hidup, dorongan primordial, transformasi, potensi atau pemberdayaan. Sedangkan ‘Cari Cara’ mengacu pada moda bertahan hidup, menemukan cara untuk tetap hidup pada masa-masa sulit seperti pandemi yang saat ini kita hadapi.
Dalam sesi pertama dengan membawa tema “Presence – Where Are We Now?” menghadirkan pembicara utama yaitu seorang penulis yang berasal dari Indonesia, Ayu Utami, seorang koreografer dari Indonesia, Eko Supriyanto serta seorang koreografer dari Australia, Melanie Lane. Tema yang dibawa dalam sesi pertama ini “Presence – Where Are We Now?” memiliki maksud bahwa dalam menghadapi pandemi kita mendorong lahirnya kebijakan baru sehingga lama kelamaan dengan berjalannya waktu kita harus bermigrasi ke dunia maya. Cara ini membuat kita memiliki sudut pandang yang baru apakah seni tari dapat dibawakan ke dalam pertemuan maya seperti kegiatan IDF 2020 yang bertujuan untuk melakukan adaptasi dalam melakukan kegiatan dengan kebiasaan baru.
Pada sesi ini juga mengundang penanggap di luar dunia tari untuk mendapatkan sebuah pandangan baru yang lebih luas. Dibuka dengan perkenalan pembicara Ayu Utami yang merupakan penulis asal Indonesia berprestasi dengan berbagai penghargaan yang sudah didapatkannya. Dalam materi yang diberikan, Ayu Utami menjelaskan bahwa seni tari sangat terkena dampak dalam migrasi kebiasaan baru ini yang berubah menjadi tatap maya. Menurutnya tari merupakan sebuah puisi dari bahasa tubuh, tidak hanya harus memiliki keindahan melainkan juga harus berada di ruang yang memungkinkan pembebasan bahasa tubuh itu sendiri. Dunia tari dapat memberikan pembebasan kepada dunia di luar tari. Ada yang memberikan pembebasan ke dalam maupun keluar dunia tersebut. Contoh memberikan pembebasan ke dalam yaitu kesenian tari membongkar dirinya dan membawa dunia luar yang tidak sakral ke dalam sakristi. Sedangkan yang memberikan keluar dapat digambarkan seperti dunia tari atau seni memberikan atau membawa pembebasan bagi dunia di luar tari atau seni tersebut.
Selanjutnya dengan pembicara kedua yaitu Eko Supriyanto yang memiliki darah seni dari kakeknya sendiri serta riwayat pendidikan seni yang sangat baik dalam bidang kesenian, sekarang sudah meraih gelar doktor di Universitas Gajah Mada dan ISI Solo. Dalam situasi yang mewajibkan kita melakukan semuanya secara daring atau virtual, Eko Supriyanto merasakan ada dua hal yang menarik untuk dirinya, yaitu ruang virtual ini dijadikan sebuah analogi ruang pengganti atau subtitusi yang menarik karena dapat melihat sebuah proses yang dilakukannya bukan untuk melihat hasil akhirnya saja sehingga menjadi lebih menantang untuk melakukan serta menampilkan sebuah kesenian. Maka dengan adanya kegiatan seminar yang diadakan IDF 2020 ini sangatlah membantu untuk penggila seni agar tetap bisa berekspresi dalam kesenian yang mereka tekuni sebelumnya, dengan melakukan berbagai adaptasi hal baru. Seperti halnya pada proyek karya terakhir Eko yang dipercaya untuk membuat sebuah garapan film untuk dikirim ke Jerman, maka dari sana ia memiliki tantangan baru. Dalam proyek tersebut ia harus melakukannya dengan sistem tatap maya, lalu harus diolah menggunakan sosial media sampai mengunggahnya dengan media online dan berbagai hal lainnya. Tantangan baru seperti itu membuat proses berkarya menjadi berbeda sehingga perlu melakukan adaptasi baru, sehingga sampai titik memiliki kebebasan tersendiri.
Yang terakhir, Melanie Lane dari Australia menjelaskan pengalamannya dalam bidang kesenian. Dalam pandangannya terbersit sebuah ironi bagaimana kita semua saat ini terkena dampak yang sangat besar, tidak hanya dalam dunia seni melainkan dalam berbagai aspek kehidupan. Menurutnya dunia virtual yang sedang dirasakan oleh semua orang memberikan kesempatan untuk berbagi, seperti berbagi pengalaman yang biasanya dilakukan dalam pengalaman fisik yang diubah menjadi pengalaman yang secara virtual, namun menurut Melanie Lane apakah kita dapat memindahkan seluruh pengalaman fisik kita kedalam pengalaman virtual secara sempurna? Pasti dalam adaptasi tersebut memiliki cara yang berpotensi mengadopsi berbagai cara dengan maksud yang sama, sehingga bisa dinikmati oleh penikmat seni dengan makna yang sama juga.