Penulis :

Gydions Exaudi Pakpahan
Program Seni Teater
Institut Kesenian Jakarta

Irfan Setiawan, merupakan alumni jurusan seni tari Institut Kesenian Jakarta, berasal dari Bangka Belitung. Irfan merupakan seseorang yang inspirasi karyanya selalu memiliki hubungan dengan identitas dirinya. Contohnya seperti tambang timah yang berada di Bangka. Sejarah tambang timah yang didatangi inggris dan tionghoa. Artefak peralatan tambang menjadi bukti sejarah itu. Dari sejarah itulah Irfan dapat membuat karya tari. Keberagaman adat daerahnya menginspirasinya untuk membuat tarian yang estetik. Contoh lain seperti ingatan Irfan mengenai seorang ibu yang menidurkan anaknya dengan lagu dangdut remix yang di dalamnya terdapat kata-kata yang tidak pantas. Ide itu menginspirasinya untuk pulang ke kampung halaman. Pertanyaan selalu berputar di kepala Irfan, seperti apa kelak anak yang ditidurkan dengan lagu dangdut, dan tarian itu dinamakan “Encang-Encot.”

Contoh karya lain seperti “Bala,” ini berasal dari falsafah burung Kedidi, burung yang kecil dan lincah bergerak di ranting pohon. Bala itu merupakan sebuah bencana atau karma yang masih dipercaya oleh kampung halaman irfan, bala terjadi apabila masyarakat tidak menjalankan ritual atau upacara adat. Yang menjadi pertanyaan irfan adalah bagaimana bisa aktivitas tambang masih berlanjut di tengah masyarakat membacakan mantra dalam upacara itu. Akhirnya burung Kedidi kehilangan ranting pohon mereka dan menjadikan pipa-pipa tambang sebagai tumpuan kakinya.

Karya lain yang dibuat oleh Irfan adalah seperti tarian lada, tarian ini menginspirasinya ketika peruntungan ayahnya berubah dari petani menjadi penggali tambang. Aroma lada dan cara pengolahannya membuat Irfan teringat akan penggilasan lada yang diartikan seperti memanjakan seorang anak. Bentuk ini menjadi inspirasi Irfan antara keakraban manusia dengan alam. Karya tersebut dinamakan “Melo Sang“.

Irfan kembali pulang, rumah lama yang berisi lemari tua, dokumen tua, televisi rusak, meja-meja tua, lalu ada lemari tua yang menarik irfan, lemari itu berisi buku harian ayahnya, dengan kewaspadaan. irfan membaca buku itu dengan hati-hati. Isi buku itu tidak hanya berisi kenangan romantik ayah dan ibunya namun juga berisi mantra, jadwal sepak bola, teks pidato, draf upacara, dan juga puluhan doa yang memohon memberi kekuatan. Irfan sadar beban berat yang dirasakan ayahnya dan membuat karya tari berjudul “Sun Ali.” Karya ini merupakan refleksi dari irfan nilai-nilai patriarki yang membuat pertanyaan apakah irfan harus mengoreksi dalam sikap atau mensyukurinya. Benturan dan pertanyaan merupakan tarik ulur karya-karya irfan selama ini.

Benturan kali ini hadir bersama pandemi virus covid-19 dan irfan menyadari bahwa dia berada dalam krisis bersama dunia. Tetapi bagi irfan, krisis tidak dapat menghentikan kreativitas, meneliti diri sendiri. Akhirnya irfan menyadari ketika meriset karya-karyanya yang lama bahwa karyanya memiliki ambisi dan motivasi tetapi deret hitung menguasai karyanya. Tetapi itu menghidupkan karya ciptanya.

Dalam karya barunya “Impact,” karya ini lebih kearah physical atau fisik. Dalam karyanya ini, irfan membenamkan konsep dan membiarkan terjadinya tarik menarik individu dengan kulturnya, fisik dengan konstruksi sosial politik ruang dan eksistensinya dalam sebuah frame dengan meletakkan kamera sebagai kolaborator yang memperkuat artistik karya, kamera sebagai subjek dan bagian klausal dari karya serta tubuh dan narrator serta setara dengan penari. Benturan ini diharapkan dapat menciptakan benturan baru bagi penonton yang baru. Irfan akan sangat senang apabila benturan baru dapat muncul. Ditengah pandemi ini, irfan memiliki energi baru dalam menghasilkan karya yaitu benturan dan pertanyaan. Energi yang masih baru ini akan dikembangkan oleh irfan lagi dengan caranya sendiri.