Gawai dengan fitur kamera telah membiasakan kita memotret atau merekam banyak hal di sekitar. Sebagai koreografer, hal yang paling menggerakkan Eka memotret adalah tarian, terutama tari Gong Dayak Kenyah yang lekat dengan pengalaman tubuh dan kepenariannya. Sejak tahun 2016, Eka meneliti sejarah, unsur kinestetik, mitologi, dan daya pesona tarian tersebut. Di dalam proses penelitian, Eka meninjau hasil jepretan tari Gong Dayak Kenyah yang dipotret oleh ia sendiri dan kawan kolaboratornya. Ia lalu menemukan gejala yang khas berupa selera, rasa, sudut pandang, bahkan pertimbangan estetis dan etis dari cara si pemotret menatap tari Gong Dayak Kenyah. Pengalaman itu membuat mereka merasa seolah ada panduan yang tak bisa diindera, yang turut mengatur sudut pandang lensa kita.
Melalui karya koreografi “Pesona”, Eka bereksperimen untuk mempertukarkan beragam sudut pandang dan membaca ulang unsur-unsur yang turut mempengaruhi rasa visual jepretan lensa foto terhadap tari Gong Dayak Kenyah.
Choreographer: Eka Wahyuni | Collaborators: Azwar Ahmad, Melynda Adriani, Primadana Affandi, Wendy Pratama | Music by: Whansetiyawan | Lighting designer: Yonek D. Nugraha | Brainstorming partner: Linda Mayasari | Trial support: Movement Lab, Proyek Edisi, Temu Seni Tari | Technical trial support: Pahlawan Chaniago, Riski Rianda, Taufik Ivan (Pendukung Teknis Uji Coba)
Eka Wahyuni
Sebelum menjadi koreografer tari kontemporer, Eka Wahyuni memulai praktik tarinya sebagai penari tradisional Kalimantan Timur di Yogyakarta. Gagasan soal arsip dan memori pada tubuh, mitos, hingga fenomena sosial menjadi ketertarikan utamanya untuk menciptakan karya. Sejak 2016 hingga kini ia menggarap karya jangka panjangnya “Pesona Tari Gong” (“The Enchantment of Tari Gong”), dan karya lain seputar arsip tari dan tubuh seperti “Rekalindung” (2021) dan “Dancing The Monument” (2022).