Leu Wijee, tentang Tubuh paska Bencana dan yang Menyertainya

18 April 2023

Oleh: Titah AW

“Seri [The] Museum ini seperti autobiografiku. Karya-karyaku merefleksikan waktu yang saya lalui, apa yang dapat, dan apa yang kita eksperimentasi. Jadi bukan tentang menyuarakan sesuatu secara frontal, tapi lebih ke pertunjukan gerak. Penemuanku terhadap gerak itu sendiri. Lebih ke menguji tubuh daripada mengirim pesan.”

– Leu Wijee

Pengalaman menghadapi bencana alam adalah salah satu memori kolektif paling menonjol yang dimiliki umat manusia. Tak hanya mengubah lanskap bumi, bencana alam merupakan salah satu faktor penentu evolusi dan pola migrasi homo sapiens. Hingga hari ini pun, tanpa disadari, kita tak pernah luput dari ancaman bencana alam, apalagi ketika tinggal di negara kepulauan seperti Indonesia. Kesadaran purbawi inilah yang tersingkap secara mengejutkan pada diri Leu Wijee (24) pada 28 September 2018 lalu, saat Palu kota kelahirannya terkena gempa dan tsunami berkekuatan 7,5 SR.

Kabar itu datang ketika Leu Wijee saat itu ia berada di Papua, tengah menggarap karya tarinya. “Saat itu aku lagi di perahu, teman-teman di sana lari teriak-teriak. ‘Leu, Leu, rumahmu! Gempa!’. Saya terlambat tahu,” ceritanya mengingat hari itu.

Lumpuhnya jaringan komunikasi membuat Leu tak bisa mengontak keluarganya untuk tahu kabar mereka. Hari-hari itu, Leu merasa dunianya mengabur dalam ketidakpastian. Saban hari ia habiskan di atas perahu, menyerahkan tubuhnya pada ayunan ombak. Kepalanya dipenuhi perasaan campur aduk, kalut yang tertahan, bingung yang tak bisa diapa-apakan, hingga merenungi hubungan antara tubuhnya sebagai manusia dengan bencana alam. Masa yang ia kenang sebagai salah satu proses dialog internal paling intens dalam dirinya. Baru di hari ketujuh setelah gempa, Leu mendapat kepastian bahwa keluarganya selamat. Beban ketidakpastian itu terangkat, tapi renungannya ternyata terlanjur memadat dan bertransformasi menjadi benih awal karya tari kontemporer pertamanya: seri Museum.

“Konsep karya ini sebenarnya refleksiku soal relasi potensial antara bencana dan tari. Titik awalnya dari situ,”

– jelas Leu

Karya Museum kini sudah dua babak. Babak pertamanya, Museum I: Waves, ditampilkan di Helatari Salihara 2021 lalu. Sedangkan babak keduanya, Museum II: Ridden, November 2022 lalu terpilih di Indonesian Dance Festival (IDF) 2022 sebagai salah satu karya di program KAMPANA, program bagi koreografer muda potensial Asia untuk menunjukkan karya yang sedang berproses. Gerak repetitif yang intens, dengan properti berupa sapu lidi dan musik yang minimalis membuat penonton tenggelam dalam ritme konstan. Pada impresi soal tubuh-tubuh yang tengah bertahan dan bersiap atas sebuah kekuatan yang melampaui tubuh mereka: kekuatan alam. Bak dokumenter, Leu melihat ulang perjalanannya memaknai tempat kelahirannya sebagai situs paska bencana.

“Seri [The] Museum ini seperti autobiografiku. Karya-karyaku merefleksikan waktu yang saya lalui, apa yang dapat, dan apa yang kita eksperimentasi. Jadi bukan tentang menyuarakan sesuatu secara frontal, tapi lebih ke pertunjukan gerak. Penemuanku terhadap gerak itu sendiri. Lebih ke menguji tubuh daripada mengirim pesan.”

Museum II: Ridden melanjutkan perjalanannya ketika ia baru bisa kembali ke Palu, sembilan bulan pasca gempa. Di sana, ia melakukan riset lapangan di lokasi-lokasi zona merah gempa. Ia melihat bagaimana manusia-manusia yang ada di zona paska bencana memunculkan gestur dan sistem ketubuhan baru. “Saya mengamati, orang-orang di redzone itu jadi sering cek-cek tanah, mencari harta yang terkubur. Saya juga lihat mereka jadi sering membersihkan lingkungan beramai-ramai pakai sapu lidi,” ujar Leu. Sapu lidi ini yang kelak Leu bawa sebagai properti dalam karya Museum II: Ridden.

Kolaborasinya di Museum II: Ridden bersama Mio Ishida, koreografer asal Jepang juga meninggalkan kesan mendalam bagi Leu. Leu melihat ia dan Mio berbagi pengalaman yang sama soal tinggal di daerah yang rawan gempa dan bencana alam. Salah satu temuan dari proses kreatif mereka di Jepang adalah soal konsep tubuh yang bersiap-siaga. “Aku sempat mengalami gempa 6,2 SR di Jepang. Nah, yang menarik, aku melihat tubuh yang siap-siaga di Jepang itu diaktivasi oleh sistem, sementara di Palu orang-orang meresponnya dengan berdoa atau [menjalankan] ritual,” ujarnya. Kontras bahwa Jepang melakukan pendekatan yang lebih berbau teknologi, sementara di Indonesia, menariknya, justru sangat spiritual.

“Padahal ujung-ujungnya sama, yaitu mengaktifkan tubuh yang bersiap siaga. Itu jadi kata kunci kami, preparedness, readiness,”

– ujar Leu

Kesiapsiagaan spiritual ini yang jadi inpirasi Leu memilih judul Ridden untuk babak kedua Museum. Ia memperhatikan tentang kepercayaan orang-orang di Asia pada peristiwa tubuh yang ditunggangi hantu. Ia menjadikannya sebagai metafora, untuk tubuh-tubuh penari yang ditunggangi oleh pengalaman-pengalaman bencana yang ia dapatkan dari riset. “Ditunggangi hasil riset di level pikiran dan tubuh”.

Meski karya Museum merupakan karya pertamanya dalam konteks tari kontemporer, gagasan soal kaitan bencana dan gerak tubuh merupakan modal kuat. Gagasan Leu menyentuh salah satu pengalaman purba manusia, membuat penikmatnya mengunjungi ulang pengetahuan soal eksistensi dirinya sendiri juga relasinya dengan alam. Leu merasa masih banyak eksplorasi yang bisa ia garap lewat seri Museum. Saat ini, Leu mulai menggodok ide untuk babak ketiga Museum yang akan berkaitan dengan tubuh yang bermutasi.

Sebelumnya, Leu Wijee lebih banyak berkegiatan di street dance. Ia sempat bergabung di Animal Pop Dance, di bawah arahan Jecko Siompo. Pengalaman tumbuh dalam lingkungan street dance membuat Leu terbiasa memacu dirinya membuat banyak variasi gerakan yang otentik dan baru. “Ada ungkapan di b-boy dance, walaupun seseorang pakai topeng saat battle, kita tahu orang itu dia [karena tariannya]. Street dance menuntut kita menciptakan karakter,” jelasnya.

Agustus tahun ini, Leu Wijee akan melangsungkan residensi selama tiga minggu di Taiwan dalam program ADAM (Asia Discovers Asia Meeting) 2023, program dari Taipei Performing Arts Center. Untuk program ini, ia masih ingin mengembangkan seri kedua Museum II: Ridden lebih lanjut. “Saya ingin lebih banyak menghabiskan waktu di studio untuk proses kreatif. Semoga Museum III nanti bisa ditampilkan di IDF 2024,” tutupnya.