Dari Jakarta ke Jerman, Ayu Permata Sari Bawa Semarak Dangdut

30 Januari 2023

Beberapa bulan datangi klub-klub dangdut di Jawa Tengah dilakoni Ayu Permata Sari demi riset terhadap tubuh, pengalaman, dan penggemar pesta-pesta dangdut Indonesia. Karya yang dihasilkan dari riset ini ditampilkan perdana di Indonesian Dance Festival, kemudian bertandang ke festival tari dan teater di Jerman.

Bayangkan sebuah acara dangdutan meriah di kotamu. Adegan dalam kepalamu mungkin memuat hal-hal ini: suara electone dan kendang yang mengentak-entak, vokal dengan cengkok melayu yang kadang terasa genit, liukan tubuh, dan penonton - mayoritas laki-laki - yang bergoyang terbawa suasana.

Pemandangan ini familiar di berbagai area di Indonesia. Begitu familiar, sehingga diasosiasikan dengan hura-hura rakyat alih-alih bagian dari budaya tari kontemporer. Ayu Permata Sari, koreografer yang tinggal dan berkarya di Lampung, mengajak audiens melihat dangdut dari kacamata baru. Berbasis riset lapangan, karya “Tubuh Dang Tubuh Dut” membuatnya mengambil peran penonton laki-laki yang sedang bergoyang di depan panggung dan ditonton publik. Sebuah usaha membalikkan perspektif male gaze yang kerap ia temui di klub-klub dangdut.

Karya “Tubuh Dang Tubuh Dut” pertama kali ditampilkan di Indonesian Dance Festival (IDF) edisi 2018. Saat diberi panggung dalam festival, Ayu merasa tertantang untuk membuat presentasi yang relevan bagi komunitas tari kontemporer - baik dari dalam maupun luar negeri. Kesempatan berhadapan dengan audiens yang beragam ini juga membuatnya sadar bahwa “karya ‘Tubuh Dang Tubuh Dut’ tidak hanya baik untuk sebuah karya di atas panggung, namun juga baik untuk didiskusikan di sebuah kongres tari sebagai ilmu pengetahuan tentang budaya pop timur atau lebih spesifiknya Indonesia.”

Empat tahun setelah ditampilkan di IDF, Ayu membawa karya ini ke hadapan audiens Eropa melaluii penampilannya di Tanz Kongress, festival tari dan teater tiga tahunan dii Mainz, Jerman. “Kurator Tanz, How Ngean Lim, tertarik dengan proses ketubuhan yang saya lakukan. Saya yang perempuan, menubuhkan laki-laki yang mewakili penonton dangdut.”

Proses ketubuhan yang dilakukan Ayu adalah hasil dari proses panjang. Demi karya ini, ia bolak-balik pergi ke klub dangdut di Yogyakarta dan sekitarnya dan banyak mengobrol dengan penonton. Ia terkesan dengan para penonton dangdut yang begitu larut dalam musik dan bergoyang di depan panggung. Pesta dangdut menjadi ruang yang membebaskan. “Kebanyakan orang yang kutemui, datang dangdutan untuk kabur sejenak dari hiruk pikuk pekerjaan, rumah, dan runyamnya kehidupan sehari-hari,” kata Ayu.

Ayu juga mengamati bahwa latar belakang pekerjaan mempengaruhi gerakan tubuh seorang penonton saat dangdutan. Misalnya, ia menemukan seorang kuli bangunan yang tanpa sadar menari dengan gerakan serupa menancapkan paku ke tembok. Pengalaman ketubuhan yang menjadi bagian keseharian ternyata muncul begitu saja di tengah alunan musik.

Karya ini membawa Ayu melihat sebuah manifestasi konsep antropologi liminalitas, di mana sebuah ruang perjumpaan tercipta dan membebaskan masyarakat modern dari status sosial dan perilaku yang diharapkan berdasarkan status tersebut. Ayu melihat pesta-pesta dangdut membebaskan penonton dari status mereka, dan memberikan ruang untuk melupakan sejenak peran mereka dalam masyarakat.

Ayu adalah seorang koreografer lulusan ISI Yogyakarta. Setelah menempuh studi dan tinggal di Yogyakarta, ia kini kembali ke Lampung dan membangun Ayu Permata Dance Project (APDP) untuk berbagi pengetahuan seni tari lewat karya, kelas ketubuhan, diskusi dan lokakarya tari. APDP aktif terlibat dalam berbagai festival dan acara kesenian baik dalam tingkat lokal, nasional, maupun internasional. “Cukup sulit untuk seniman tari muda mendapat dukungan dan ruang. Jadilah saya mencoba membuat ruang ini. Untuk mendukung diri saya sendiri juga!” kelakarnya.